Langsung ke konten utama

Orang Bikin Konten Edukasi Tapi View-nya Sepi: Salah Platform atau Salah Kita?

Kenapa konten edukasi sepi view? Artikel ini membahas apakah masalahnya ada di platform atau pada gaya penyampaian kita.

Kita semua udah tau: bikin konten itu capek. Apalagi kalau niatnya edukasi—ngumpulin data, riset, nulis script, ngedit, dan mikirin caption. Tapi giliran udah posting? View-nya cuma 3. Dua di antaranya kamu sendiri, satu lagi mungkin sepupu yang nggak sengaja ke-swipe.

Apakah Konten Edukasi Memang Kurang Diminati?

Jujur aja, sebagian besar orang buka medsos bukan buat belajar. Mereka nyari hiburan, ketawa, atau kabur dari realita. Konten edukasi sering dianggap "berat", apalagi kalau tampilannya kaku, monoton, dan terlalu “sekolahan”.

Tapi… itu bukan alasan buat nyerah.

Salah Platform atau Salah Gaya Kita?

Bisa jadi dua-duanya. Yuk kita kupas:

1. Platform Punya Algoritma Sendiri

  • TikTok dan IG Reels lebih suka konten singkat, engaging, dan cepat nangkep perhatian.
  • Kalau pembuka kamu terlalu datar, algoritma langsung “bye”.

2. Gaya Penyampaian Kita Kurang Nyantol

  • Edukasi ≠ ceramah.
  • Konten edukasi sekarang harus punya storytelling, punchline, atau gaya visual yang catchy.

Intinya: isi boleh berat, tapi bungkusnya harus ringan dan menggoda.

Edukasi Tapi Menghibur: Emang Bisa?

Bisa banget. Lihat akun-akun kayak @arahkiri, @kerjanyaapa, atau @faktakita.id.. Mereka tetap bahas topik berat, tapi dikemas dengan gaya:

  • Satir
  • Visual kreatif
  • Judul clickbait tapi isi berbobot

Kunci utamanya: kenalin audiens kamu. Kalau target kamu Gen Z, ya gaya kamu harus Gen Z-able. Bukan dosen-able.

Tips Buat Kamu yang Bikin Konten Edukasi

  1. Hook di 3 detik pertama
    Misalnya: “Pernah mikir kenapa kita insecure padahal nggak ngapa-ngapain?”
  2. Pakai analogi nyeleneh
    “Self-esteem itu kayak sinyal—kadang kuat, kadang lemot.”
  3. Gunakan subtitle atau teks on-screen
    Apalagi kalau suara kamu kecil atau banyak noise.
  4. Jangan takut kasih opini pribadi
    Justru itu yang bikin audiens ngerasa “wah relate”.

Jadi, Salah Platform atau Salah Kita?

Kadang bukan salah siapa-siapa. Medsos itu lautan luas. Kalau view sepi, mungkin kamu belum nemu pantai yang pas. Atau kamu belum naik kapal yang cocok.

Yang penting: terus belajar, adaptasi, dan evaluasi. Kadang perlu tweaking gaya, kadang perlu pindah platform.

Dan yang paling penting—jangan terlalu keras sama diri sendiri.

Konten bagus itu bukan yang viral, tapi yang bisa bertahan dan bermakna.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perbedaan Antara Frontend, Backend, dan Full-Stack dalam Pengembangan Web

Pendahuluan Dalam pengembangan web, ada tiga komponen utama yang membentuk sebuah aplikasi atau situs web: frontend , backend , dan full-stack . Keduanya (frontend dan backend) bekerja sama untuk memastikan situs web atau aplikasi berjalan dengan lancar, sementara seorang full-stack developer memiliki kemampuan untuk menangani keduanya. Meskipun ketiganya saling terkait, mereka memiliki peran dan tanggung jawab yang berbeda. Artikel ini akan membahas perbedaan antara frontend, backend, dan full-stack dalam pengembangan web. 1. Apa Itu Frontend? Frontend adalah bagian dari aplikasi atau situs web yang langsung berinteraksi dengan pengguna. Bagian ini bertanggung jawab atas segala yang dilihat dan digunakan oleh pengguna di browser. Teknologi yang Digunakan : HTML (HyperText Markup Language): Untuk struktur halaman. CSS (Cascading Style Sheets): Untuk desain dan tata letak. JavaScript : Untuk interaktivitas dan dinamika. Framework/library yang populer: React , Angular , Vue.js . Tuga...

Stop Manipulasi Emosi Anak

Guilt-Tripping Anak Pakai Makanan: Antara Kebaikan, Emosi, dan Validasi Murahan 🔥 Guilt-Tripping Anak Pakai Makanan: Antara Kebaikan, Emosi, dan Validasi Murahan 1. Pembukaan Kontekstual Di dunia ini, ada dua jenis orang baik: Yang satu kasih makanan dan lupa. Yang satu lagi kasih makanan, terus ngungkitnya sampai Hari Kiamat. Yang pertama jarang kita temui. Yang kedua? Setiap RT punya. Mereka muncul dalam wujud ibu-ibu tetangga, guru TK, atau tante kepo yang selalu bilang, “Tante dulu sering traktir kamu, kok sekarang kamu gak ramah?” Kedengarannya ringan. Tapi ini bukan sekadar omelan. Ini guilt-tripping —versi halus dari manipulasi emosional, yang makin ngenes karena sering ditujukan ke anak kecil. Dan kita semua pura-pura gak lihat. Karena siapa sih yang mau dibilang jahat ke orang yang suka ngasih makanan? Siapa yang berani buka suara waktu kebaikan dijadikan alat tekan? Padahal, kalau kamu udah mulai ngungkit pemberianmu ke an...